Statistik Blog Q

Kamis, 08 November 2012

SEJARAH SINGKAT PERISTIWA PERLAWANAN RAKYAT MALOMBA KECAMATAN DONDO KAB. TOLITOLI TERHADAP PEMERINTAH JEPANG TANGGAL 18 JULI 1945

Sebagaimana kita ketahui bahwa bangsa indonesia selama 350 tahun dijajah oleh bangsa belanda. Nanti pada akhir tahun 1941, pemerintah belanda menyerah kepada pemerintah jepang. Pemerintah jepang mulai berkuasa di Indonesia awal tahun 1942. Pada permulaan pemerintahan jepang tehadap bangsa Indonesia sangat baik. Sampai adanaya jembatan dari pemerintah jepang, indonesai – jepang sama-sama. Tapi setelah pemerintahan jepang berjalan 2 tahun di Indonesia mulailah mengganas. Dalam menjalanjkan pemerintahan. Masyarakat dipaksa bekerja untuk kepentingan jepang, ada keslaahan sedikit dilakukan oleh masyarakat maka diadakan hukuman (pemukulan), kemudian masyarakat dipaksa berkebun dan bertani. Hasilnya 75 % diambil oleh pemerintah jepang, sehingga akibatnya masyarakat kesulitan makanan dan juga pakaian. Pokoknya selama pemerintahan jepang, masyarakat menderita kehidupannya. Akhir bulan juli 1945 seorang penduduk malomba yang merantau kurang lebih 30 tahun di kalimantan, bernama Tantong Karonjani kembali ke malomba. Oknum inilah yang membawah berita bahwa pemerintah jepang telah menyerah terhadap pemerintah sekutum(amerika, Inggris, Belanda). Dasar berita inilah masyarakat malomba, yang selama ini sangat menderita, mendorong untuk mengadakan musyawarah dengan maksud melawan kepada pemerintah jepang. Awal bulan juli 1945 masyarakat malomba mengadakan musyawarah dipimpin oleh Tantong karonjoni, musyawarah dilaksanakan dirumah bapak Radjaili yang pada saat itu sebagai ketua partai Syarikat Islam. Hadir dalam musyawarah ada dua suku bangsa yaitu suku Dondo dan suku Bugis semuanya penduduk desa Malomba (kurang lebih 50 orang). Dalam musyawarah menghasilkan sebagai berikut : 1. Masyarakat malomba harus mengadakan perlawanan kepada pemerintah jepang. 2. Penjagaan dibahagi dua yaitu arah timur dan arah barat. 3. Arah timur dipimpin oleh Baula (suku Dondo) 4. Arah barat dipimpin oleh Lasainong (suku Bugis) Dengan catatan : jika musuh masuk dari arah timur maka arah barat membantu demikian sebaliknya. Sekitar tanggal 7 juli 1945 mulailah masyarakat Malomba mengadakan aksi hasil musyawarah yaitu menangkap dan mengikat tiga orang Polisi jepang yang bertugas dimalomba yaitu Jos Pasla, Kare dan Manapo. Ketiga orang Polisi yang ditangkap ini diserahkan kepada kepala kampung Malomba (Logarodi). Tanggal 10 Juli 1945 ketiga polisi yang dalam pengawasan kepala kampung ini sempat melarikan diri. Manapo lari ketarakan kere lari ke Bambapula (dibunuh oleh masyarakat Bambapula) dan Jos Pasla lari ke Tolitoli. Yos Pasla inilah yang melaporkan kepada atasannya (pemerintah jepang). Dengan dasar laporan ini pemerintah jepang mempersiapkan pasukan untuk menggempur masyarakat malomba. Turut dalam rombongan pemerintah jepanhg itu ialah : Imaki Ken Kanrikan (Bupati), Raja Tolitoli H. Moh saleh Bantilan, jum Po Co (Kepala Polisi) Danres dan Dua regu anggota polisi Jepang. Rombongan berangkat dari Tolitoli menggunakan perahu turun di Malala, Langsung ke Tinabogan dan tepat hari kamis 18 Juli 1945 tiba di malomba jam 11 siang inilah puncak peristiwa. Rombongan pemerintah jepang pada saat itu disambut oleh masyarakat Malomba kurang Lebih 20 orang termasuk Lanoni, Bebelan, Taniangka, Mangi Darinong, Abd. Wahab, H. Hansah DLL. Setelah bertemu dan berhadap-hadapan antara masyarakat dan Pemerintah Jepang, Jum po Co (kepala Polisi) Danres memberi Isyarat supaya masyarakat duduk dan senjata (parang) harus dibuang jauh-jauh. Sesudah masyarakat duduk semua dan parang masing-masing mereka sudah buang, berarti keadaan dalam suasana aman, seorang polisi jepang bernama hamlet semen membuang tembakan keatas tanda aman. Tapi masyarakat sama sekali tidak mengetahui keadaan sedemikian itu, mereka mengertikan sudah mereka yang ditembak, tidak berpikir panjang lebar lagi langsung mengamuk. Lanoni langsung memotong Imaki Ken Kanrikan, Bebelan menikam JumPoco, suasana sudah kacau balau. Dalam keadaan demikian itu Imaki Ken Kanrikan dan Lanoni mati ditempat sedang bebelan dan H. Hamsah luka parah, tapi masih sempat menyingkirkan diri ketempat yang aman. Lanoni di makamkan di Desa Ogogasang dan Imaki Ken Kanrikan di Desa Tinabogan. Desa malomba pada saat itu tidak aman, banyak masyarakat yang menyelamatkan diri sampai-sampai lari ke pantai timur (swapraja Moutong). Satu bulan kemudian Pemerintah Jepang mengadakan operasi dan penangkapan kepada semua anggota pemberontak. Tantong Madayuni dan beberapa kawan sempat menyelamatkan diri kembali ke kalimantan dan nanti meninggal dunia tahun 1985, di pulau Duawan Kab. Berau. Sedangkan Bebelan, Taniangka Mangi Darinong, Muhsin, H. Hamsah, Amat, Baco Lena, Abd. Wahab, Usman, Adam Labada dan Labuoku (Ambo Ratu) ditangkap dan dibawah ke Tolitoli, langsung diadili. Keputusan dari pengadilan Jepang kepada 11 orang penduduk malomba tersaebut dijatuhi hukuman mati (dipancung) dikaki gunung Panasakan Kab. Tolitoli, sedangkan 7 orang hanya disiksa oleh pemerintah jepang selama 3 bulan di tansi polisi Tolitoli, mereka ialah lamadu, Datu Radjaili, Jafar Bantilan, Baula, Patana dan Lasainong. Demi diketahui oleh masyarakat Kab. Tolitoli umumnya, peristiwa 18 Juli 1945 diMalomba dapat menyelamatkan rakyat desa Nalu yang pada saat itu kurang lebih 1000 orang dalam tahanan jepang karena mereka dituduh sebagai mata-mata musu. Karena rencana pemerintah jepang, sekembalinya Imaki Ken Kanrikan (bupati) dari Malomba rakyat Nalu tersebut akan dipancung semua. Tuhan Yang Maha Kuasa masih melindungi jiwa rakyat Nalu yang sudah direncanakan oleh pemerintah jepang dibunuh. Seandainya tidak ada perlawanan masyarakat Malomba 18 Juli 1945 itu pasti rakyat desa Nalu kurang lebih 1000 orang sudah dibunuh. Berkat adanya peristiwa tersebut maka, selamatlah rakyat Nalu dari Hukuman mati dari pemerintah jepang. Demikian riwayat singkat dari Persitiwa 18Juli 1945 di Malomba, semoga mendapat sambutan positifyang layak dari masyarakat demi generasi penerus. Malomba 10 Juli 2011 Yang membuat H. Mahmud Radjaili Ketua Majelis Adat Dondo Diposkan oleh IKATAN PEMUDA PELAJAR MAHASISWA DONDO (sejarahmasyarakatdondo.blogspot.com)

Rabu, 07 November 2012

Statistik Kecamatan Dondo 2011

Dari 10 Kecamatan yang ada di Kabupaten Tolitoli, Dondo merupakan Kecamatan dengan luas wilayah terbesar ke tiga. untuk info lengkapnya blok dan buka di tab baru link berikut.... http://www.scribd.com/doc/112408949/02-Statistik-Daerah-Kec-dondo-2011-Isi

Selasa, 06 November 2012

Areal persawahan Tinabogan (Dusun Lumba-lumba & Baruga)

Koversi Gabah-Beras



Konversi Gabah Menjadi Beras 62,74 Persen, Tahukah Anda Darimana Angka Itu Berasal?
Jika Anda ditanya arti konversi gabah kering giling (GKG) menjadi beras  sebesar 62,74 persen, Anda pasti akan dengan mudah menjawab bahwa arti dari angka tersebut adalah jika kita menggiling gabah sebanyak satu kuintal maka kita akan memperoleh beras sebanyak 62,74 kg. Tapi bagaimana jika pertanyaannya adalah darimanakah angka 62,74 persen tersebut berasal? Mungkin tidak semua orang dapat dengan mudah menjawabnya.
Angka konversi GKG menjadi beras sebesar 62,74 persen yang sering disebut juga angka rendemen penggilingan lapangan merupakan angka yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Kementerian Pertanian. Angka tersebut merupakan hasil dari Survei Susut Panen dan Pasca Panen Gabah/Beras yang dilakukan oleh BPS dan Kementerian Pertanian tahun 2005 hingga 2007 yang diintegrasikan. Angka 62,74 persen selain digunakan untuk memperkirakan beras yang akan diperoleh juga digunakan untuk menghitung susut penggilingan.
Rendemen laboratorium merupakan rendemen yang diperoleh dari percobaan penggilingan teliti di laboratorium yang diasumsikan tidak ada fisik beras yang hilang. Pengurangan bobot dari GKG menjadi beras diasumsikan murni dari berkurangnya kadar air dan kulit gabah yang terpisah. Rendemen laboratorium tersebut kemudian dibandingkan dengan rendemen lapangan yaitu rendemen penggilingan yang biasa dilakukan oleh penggilingan pada umumnya. Rendemen lapangan pada umumnya lebih rendah dari rendemen laboratorium akibat ada bagian fisik beras yang tercecer pada proses penggilingan. Selisih rendemen laboratorium dengan rendemen lapang inilah yang disebut susut penggilingan. Istilah rendemen sendiri mengandung pengertian persentase berat hasil penggilingan terhadap berat gabah (GKG) yang digiling.
Hasil Survei Susut Panen dan Pasca Panen Gabah/Beras tahun 2005-2007 menunjukan bahwa rendemen laboratorium sebesar 65,99 persen. Dengan demikian dapat dihitung susut penggilingan sebesar 3,25 persen. Artinya ketika penggilingan dilakukan ada potensi beras yang hilang sebanyak 3,25 persen.
Sebenarnya angka konversi GKG ke beras 62,74 persen baru resmi digunakan mulai tahun 2009. Sebelumnya angka yang digunakan adalah 65,00 persen yang merupakan hasil Survei  Susut Pasca Panen 1987 dan Survei Gabah-Beras tahun 1988. Kemudian angka tersebut berubah menjadi 63,20 persen yang merupakan hasil Survei Susut Pasca Panen 1995 dan Survei Gabah-Beras 1996.
Selain konversi GKG ke beras, angka konversi lain yang cukup penting adalah angka konversi Gabah Kering Panen (GKP) ke GKG sebesar 86,02 persen. Artinya jika kita melakukan pengeringan 1 kuintal GKP maka akan  diperoleh GKG sebanyak 86,02 kg. Angka konversi ini diperoleh dengan mengurangi 100 persen dengan dua komponen pengurang bobot akibat pengeringan yaitu pengurangan kadar air sebesar 10,71 persen dan kehilangan secara fisik sebesar 3,27 persen. Sebelum tahun 2009, angka konversi yang digunakan adalah 86,59 persen yang kemudian direvisi dengan survei serupa tahun 1995/1996 menjadi 86,51 persen.
Perlu hati-hati
Ketika kita menggunakan angka konversi ini untuk menganalisis ketersediaan beras maka perlu berhati-hati. Angka ini tidak dapat serta merta digunakan untuk mengkonversikan GKG yang diproduksi petani menjadi beras yang akan tersedia untuk konsumsi pangan. Angka tersebut hanya dapat digunakan untuk memperkirakan banyaknya GKG yang akan diperoleh jika dilakukan pengeringan dan banyaknya beras jika dilakukan penggilingan. Akan tetapi perlu diingat bahwa padi yang diproduksi petani tidak seratus persen menjadi bahan makanan. Sebagian tercecer pada saat pengangkutan dan penyimpanan baik gabah maupun beras. Sebagian gabah dan beras juga tidak menjadi bahan pangan tetapi digunakan untuk benih, pakan ternak, bahan baku industri makanan, dan bahan baku industri non makanan.
Hal lain yang perlu diketahui adalah survei yang dilakukan BPS dan Kementerian Pertanian pada tahun 2005 hingga tahun 2007 belum mengakomodir adanya pengaruh musim sebagai akibat kendala pendanaan. Hal ini tentunya sangat berpengaruh pada variasi data yang diperoleh. Kadar air padi pada musim basah tentunya akan sangat berbeda dengan kadar air padi pada musim kering.  Selain susut bobot atau kehilangan secara fisik sebenarnya ada kehilangan lain yang tak kalah pentingya yaitu susut kualitas. Sejauh ini survei besar yang ditujukan untuk mengukur susut kualitas belum pernah dilakukan.